“Mengapa Harus Berkoperasi ?”
A. Alasan Historis
Dari aspek historis keinginan untuk membangun koperasi yang otonom sudah dirintis sejak lama oleh Bung Hatta, tetapi pada masa.:masa itu kaitan koperasi dengan dunia politik sulit dipatahkan sehingga koperasi banyak digunakan sebagai alat politik untuk kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Di era orde baru kebijaksanaan untuk meletakkan kerangka landasan pembangunan pada priode awal pembangunan telah mengilhami keinginan membangun koperasi yang otonom. Untuk itu disusun konsep dan model koperasi yang otonom yang disebut dengan KUD model. Kekurang berhasilan pola KUD model kemudian melahirkan pemikiran melahirkan kebijaksanaan menetapkan kreteria otonomisasi yang dikenal dengan kriteria kemandirian koperasi dan melahirkan konsep pembinaan koperasi mandiri. Lahirnya kebijaksanaan tersebut menimbulkan pendebatan antara dua pihak, yaitu yang bersikap optimis dan pihak yang bersikap skeptis. Pihak pertama kurang pempersoalkan substansi dari pemikiran otonomisasi, sedangkan kelompok kedua mempersoalkan hakikat otonomisasi karena dalam kriteria ini tidak disebutkan seberapa jauh koperasi yang disebut mandiri terlepas dari keterikatannya pada program pemerintah rasio perbandingan kegiatan program dan non program baik dari aspek jenis usaha, volume usaha maupun SHU yang diperoleh). Yang jelas konsepsi kemandirian koperasi juga tidak diperhitungkan seberapa besar peningkatan daya saing koperasi.
Usaha pembangunan Koperasi merupakan kegiatan yang melibatkan berbagai kendala dan peubah baik internal maupun eksternal koperasi, oleh sebab itu untuk membangun koperasi yang Otonom diperlukan pendekatan yang mampu mengatasi berbagai kendala struktural dan juga mampu mengeleminir berbagai peubah ekstrim. Prasyarat tersebut belum terlihat, baik dalam konsep maupun dalam penerapannya dalam pembangunan koperasi baik pada koperasi/KUD model maupun dalam konsep koperasi mandiri.
B. Alasan Ekonomi
Alasan utama kebutuhkan tersebut adalah dasar pemikiran ekonomi dalam konsep pendirian koperasi, seperti untuk meningkatkan kekuatan penawaran (bargaining positition), peningkatan skala usaha bersama, pengadaan pelayanan yang selama ini tidak ada, serta pengembangan kegiatan lanjutan (pengolahan, pemasaran, dan sebagainya) dari kegiatan anggota. Alasan lain adalah karena adanya peluang untuk mengembangkan potensi usaha tertentu (yang tidak berkaitan dengan usaha anggota) atau karena memanfaatkan fasilitas yang disediakan pihak lain (pemerintah) yang mensyaratkan kelembagaan koperasi, sebagaimana bentuk praktek pengembangan koperasi yang telah dilakukan selama ini. Namun alasan lain yang sebenarnya juga sangat potensial sebagai sumber perkembangan koperasi, seperti alasan untuk memperjuangkan semangat kerakyatan, demokratisasi, atau alasan sosial politik lain, tampaknya belum menjadi faktor yang dominan.
Alasan kebutuhan awal atas keberadaan koperasi tersebut sangat dipengaruhi oleh pola hubungan koperasi dan anggota serta masyarakat yang didominasi pola hubungan bisnis. Hal ini sangat terlihat dalam pola hubungan koperasi dan anggota di KUD. Akibatnya sering terjadi “koperasi yang tidak berkoperasi” atau dikenal pula sebagai “koperasi pengurus” dan “koperasi investor” karena koperasi dan anggota menjadi entitas yang berbeda, melakukan transaksi satu dengan lainnya, bahkan tidak jarang saling berbeda kepentingan : pengurus dan ‘investor’ disatu pihak, anggota dipihak lainnya.
Dari beberapa perkembangan Kopdit terlihat bahwa pola hubungan koperasi dan anggota yang sesuai dengan prinsip dasar koperasi memang membutuhkan proses. Namun jika kesadaran keanggotaan (yang membedakan seorang anggota dengan yang bukan anggota) telah berhasil ditumbuhkan maka kesadaran tersebut akan menjadi dasar motivasi dimana pola hubungan bisnis dapat berkesinambungan melalui partisipasi yang kemudian berkembang menjadi loyalitas. Pola yang tidak hanya ‘hubungan bisnis’ tersebut kemudian akan menjadi sumber kekuatan koperasi. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa Kopdit, dimana jika dalam masa krisis banyak KUD dan lembaga usaha lain gulung tikar beberapa Kopdit justru menunjukkan peningkatan kinerja baik dilihat dari omset, SHU, dan jumlah anggota.
B. Alasan Sosial Budaya
Motif pemenuhan kebutuhan sosial (gotong royong) masih mewarnai alasan keterlibatan individu dalam koperasi, hal ini sejalan dengan pendapat Herman (1995). Namun walaupun begitu, pertimbangan unsur pendapatan dalam melihat fenomena homogenitas tingkat motivasi kerja di kedua bentuk koperasi yang diamati masih dirasakan relevansinya. Terutama dilihat dari peran pendapatan dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang harus tersedia.
1. Mengingat pentingnya perhatian terhadap kepuasan pelanggan, maka perhatian terhadap perbaikan kinerja anggota pengurus dan karyawan harus dijadikan indikator efektivitas organisasi di samping mutu layanan. Dengan demikian, revitalisasi peran sumberdaya manusia yang berada pada front line staff perlu disosialisasikan kepada gerakan koperasi.
2. Pemenuhan terhadap kebutuhan pengakuan sosial merupakan kebutuhan dengan preferensi tertinggi, maka penciptaan group cohesiveness melalui penerapan konsep kepemimpinan yang mengakomodasi potensi bawahan perlu dilakukan.
3. Upaya mengatasi perilaku kritis pada kelompok pengurus dan karyawan KUD berpendidikan tinggi perlu dilakukan. Secara umum, perlu diatasi dengan cara mengembangkan sistem pembinaan yang didasari oleh pelaksanaan kriteria pembinaan secara sinergi. Sedang secara khsusus, perlu penanganan yang disesuaikan dengan profil kebutuhan bawahan.
4. Fakta pelapukan nilai dasar koperasi khususnya di KUD menuntut adanya perbaikan sistem pembinaan khususnya yang berkaitan dengan perbaikan kinerja anggota pengurus dan karyawan. Dalam arti lain, dibutuhkan sistem pembinaan yang menyentuh “substansi” kebutuhan koperasi dan kebutuhan individu dalam melaksanakan tugas.
5. Diperlukan pengkajian tentang sistem imbal kerja yang lebih menarik untuk pelaku manajemen koperasi. Pengkajian itu diperlukan untuk menarik sumberdaya manusia lebih potensial untuk terlibat dalam pengembangan usaha koperasi. Perbaikan sistem imbal kerja ini merupakan bagian dari perbaikan internal organisasi koperasi. Mengingat peluang untuk pengembangan kinerja koperasi secara menyeluruh cukup terbuka di masa pasca krisis ekonomi dewasa ini.
6. Diperlukan kaji ulang terhadap sistem pembinaan terhadap anggota pengurus dan karyawan yang telah dilakukan baik yang bersifat pre-service training maupun in-service training. Dengan memadukan nilai idielogis normatif koperasi dengan kebutuhan nyata sebagai lembaga ekonomi yang memiliki karakteristik efisien, efektip dan produktip. Pengkajian menyangkut pula, komponen-komponen yang dapat dilibatkan baik di lingkungan lembaga pendidikan formal, informal maupun non-formal.
7. Perlu pengkajian terhadap eksistensi Koperasi Unit Desa sebagai satu-satunya lembaga ekonomi bentuk koperasi di pedesaan. Pengkajian tersebut perlu melihat kepentingan (urgensi) perundangan-undangan yang melatarbelakanginya selama ini.
C. Alasan Yuridis
Koperasi merupakan pengimplementasian dari Pasal 33 UUD 1945 yang kemudian lebih khusus terakhir diatur melalui UU No.25 Th.1992, sebelumnya ketentuan mengenai koperasi diatur melalui UU No.12 Th.1967. Pengertian koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas kekeluargaan (Johannes Ibrahim, 2006:54)
Koperasi didirikan dengan tujuan utama untuk membangun perekonomian rakyat. Sebagai badan usaha bersama, para anggota koperasi pada umumnya bergabung secara sukarela dan atas persamaan hak serta kewajiban, melakukan usaha yang bertujuan memenuhi kebutuhan anggotanya (Dhaniswara K.Harjono, 2006:8). Keanggotaan seseorang dalam koperasi pribadi sifatnya serta tidak bisa untuk dipindahtangankan (Pasal 19 UU No.25 Th.1992).
Untuk mendirikan suatu badan usaha koperasi harus memenuhi ketentuan sebagaimana yang telah diatur oleh Undang-undang Nomor:25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, dimana koperasi primer dapat didirikan oleh sedikitnya 20 (dua puluh) orang dan koperasi sekunder dapat didirikan sedikitnya oleh 3 (tiga) koperasi (Pasal 6). Pendirian koperasi tersebut haruslah dituangkan kedalam suatu akta pendirian yang sekaligus memuat suatu anggaran dasarnya (Pasal 7). Adapun di dalam anggaran dasarnya setidaknya mencantumkan antara lain:
1) Nama koperasi dan para pendirinya
2) Tempat dan kedudukan
3) Maksud dan tujuan
4) Syarat-syarat keanggotaan
5) Rapat anggota
6) Pengelolaan dan permodalan
7) Jangka waktu pendirian
8) Pembagian SHU
9) Sanksi
Koperasi berstatus sebagai badan hukum setelah Akta Pendiriannya disahkan oleh Pemerintah dan diumumkan dalam Berita Negara Republik
1. Perkumpulan orang (organisasi)
2. Dapat melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling) dalam hubungan-hubungan hukum (rechtsbetrekking)
3. Mempunyai Harta Kekayaan Sendiri
4. Mempunyai pengurus
5. Mempunyai hak dan kewajiban
6. Dapat digugat atau menggugat di depan Pengadilan
Dengan statusnya sebagai badan hukum berarti koperasi kedudukannya sebagai subyek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban, serta dapat melakukan perikatan dengan pihak lain. Hal yang tidak kalah penting dalam mekanisme internal koperasi sebagai pemegang kekuasan tertinggi yaitu ada pada Rapat Anggota (Pasal 22 UU No.25 Th.1992). Dalam forum Rapat Anggota inilah rumusan-rumusan kebijakan secara umum ditentukan, juga merupakan forum pertanggungjawaban bagi pengurus kepada seluruh anggota koperasi. Selanjutnya segala kebijakan dan keputusan forum Rapat Anggota menjadi acuan guna ditindaklanjuti serta dilaksanakan oleh pengurus koperasi atau pengelola yang ditunjuk oleh pengurus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar